Minggu, 28 Desember 2008

"Sampah Telah Menjadi Nafkah Mereka"

“Dalam 2 tahun ini, kami sedang merencanakan untuk mengontrak rumah yang lebih baik daripada terus tinggal di TPA ini. Rencananya rumah itu mau kami buka kedai sampah (kelontong) supaya penghasilan bisa dipakai untuk sekolah anak-anak”, demikian ungkapan perasaan seorang pemulung di lokasi TPA Simpang Selayang, Medan


        Udara masih sangat dingin ketika Pak Rahman dan Tiam istrinya bergegas menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Desa Namo Bintang, Simpang Selayang, Medan. Waktu itu jam masih menunjukkan angka 05.00 WIB. TPA yang berada di Kecamatan Medan Tuntungan itu merupakan lokasi akhir pembuangan sampah warga Medan sekitarnya yang setiap harinya diangkut oleh truk-truk besar dan beratnya hampir mencapai 5 - 10 ton. Lokasi inilah yang kemudian menjadi tempat Pak Rahman dan istrinya mencari nafkah sehari-hari dengan "memulung" beragam jenis sampah mulai dari plastik, kertas, karton dan kaleng yang kemudian dijual kepada penampung yang setiap hari sudah menunggu di lokasi TPA. 
        Selain itu, mereka juga mengolah sampah-sampah organik berupa sayur mayur dan buah-buahan busuk yang diangkut dari pasar menjadi pupuk kompos. Sampah berupa sayuran dan buah busuk mereka masukkan dalam satu lobang besar berukuran 1x1 meter lalu ditimbun dengan kapur dan tanah. Dalam 2 minggu, mereka bisa memperoleh kompos yang berkualitas bagus sebanyak 50 - 80 Kg. Kompos lalu dikemas dalam plastik seberat 2 Kg dan hanya diberi label berupa tulisan spidol hitam. Lalu kompos dihantar ke tempat penjualan bunga yang berada di sepanjang jalan Hj. Adam Malik, Glugur, Medan. Hasil penjualan plastik, kertas, kaleng bekas dan kompos sebahagian dipakai untuk membeli kebutuhan pokok dan membayar kontrak rumah dan sebahagian lagi untuk membayar uang sekolah anak-anaknya. Kegiatan ini hampir setiap hari dilakukan kedua suami istri itu, bahkan mulai dari pukul 05.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB. 
        Ya, pekerjaan mereka adalah pemulung sampah, dan ini sudah mereka lakoni sekitar 2,5 tahun lamanya setelah pada awal Januari 2005 mereka akhirnya mengungsi dari Kota Banda Aceh yang turut dilanda bencana Tsunami. Mereka masih bisa bersyukur setelah mereka sekeluarga selamat dari bencana yang telah merengut ribuan nyawa itu. Meskipun lokasi kediaman mereka hanya berjarak 300 meter dari lokasi TPA, namun mereka tidak pernah sekalipun terlambat bangun. Hal ini dituturkan Tiam, istri pak Rahman yang selalu setia mendampingi suaminya bekerja meskipun usia mereka sudah hampir mencapai 50 tahun. Ketika pada satu kesempatan saya bertemu mereka di lokasi TPA, saya coba bertanya kenapa harus pagi-pagi sekali mereka keluar menuju TPA tersebut? Pak Rahman hanya tersenyum dan mengatakan, bahwa kondisilah yang membuat mereka memang harus pagi-pagi buta sekali menuju TPA tersebut karena truk-truk yang membawa sampah dari kota Medan sudah tiba di lokasi TPA pukul 05.00 WIB. Bila terlambat sedikit, maka mereka harus gigit jari tidak akan mendapatkan penghasilan karena banyaknya jumlah pemulung yang sudah tiba disana setiap paginya. "Kalau sampai kesiangan tiba disana, wah.......kita malah bisa ditertawai teman-teman pemulung dek?", katanya sambil memilah-milah plastik yang sudah mereka kumpulkan dalam sebuah karung plastik. "Adek bisa bayangkan, kalau truk-truk itu datang dan membuang sampah yang dibawanya, maka ratusan orang pemulung sudah siap menunggu dibawahnya, dan malah pernah terjadi kecelakaan yang hampir merengut nyawa seorang pemulung yang hampir tertimpa timbunan sampah yang dikeluarkan dari truk", ceritanya sambil menikmati kopi yang selalu dibawanya dalam botol minuman mineral saat dia bekerja. Untuk tidak mengganggu pekerjaan mereka, aku menyempatkan diri berkeliling lokasi TPA yang luasnya sekitar 5 Ha dan hampir seluruhnya ditutupi sampah yang tingginya mencapai 5 - 10 meter. Bahkan ketika aku berada ditengah-tengah gunungan sampah, nafasku tersesak karena aromanya yang tidak sedap. Aku bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa para pemulung bisa bertahan bila berada di lokasi itu. 
        Sampah industri, pasar dan rumah tangga yang dibawa puluhan truk sampah menuju lokasi TPA itu bisa mencapai 10 - 20 ton setiap harinya. Kita bisa bayangkan, dalam 1 minggu saja, sampah yang ditimbun di lokasi itu bisa mencapai 60 - 120 ton. Sedangkan sampah yang bisa dimanfaatkan oleh para pemulung untuk dijual hanya sekitar 1 - 5 ton setiap harinya. Tentu saja lokasi itu tidak pernah sepi dari aktifitas para pemulung meskipun ada papan larangan bagi pemulung yang dibuat oleh Dinas Pertamanan Pemkot Medan. Ketika akan kembali ke tempat pak Rahman bekerja, saya memperhatikan sekumpulan anak-anak balita sedang bermain di sekitar timbunan sampah yang sudah dibakar. Saya begitu prihatin dan khawatir anak-anak itu bisa mengalami kecelakaan karena sampah-sampah yang dibakar kadang tidak kelihatan berasap diatasnya, padahal dibawah sudah menjadi bara.Akhirnya saya melarang anak-anak itu bermain dilokasi timbunan sampah yang mengeluarkan asap, meskipun dari raut wajah mereka tidak senang dengan larangan saya. Pak Rahman dan istrinya kelihatan masih sibuk memilah-milah sampah yang baru mereka ambil dari lokasi TPA. 
        Sebahagian sampah plastik mereka tumpuk disatu tempat, sebahagian lagi adalah sampah kertas dan kaleng bekas yang mereka tumpuk ditempat lain. Sampah plastik yang kelihatan basah kemudian mereka potong dan bagi dua, lalu dicuci dan dijemur. Menurut pak Rahman, harga plastik dan kaleng bekas lebih mahal dari sampah kertas karena menurut yang mereka dengar dari para penampung bahwa sampah plastik dan kaleng bekas itu akan didaur ulang lagi untuk dijadikan plastik dan kaleng baru. Biasanya untuk sampah plastik yang sudah dibersihkan, harganya sekitar Rp. 6000/kg, sedangkan kaleng bekas harganya sekitar Rp.2300/kg. Setiap harinya, pak Rahmat dan istrinya hanya bisa memperoleh sekitar 10 kg sampah plastik dan 25 kg kaleng bekas. Sedangkan dari hasil penjualan kompos yang biasanya dijual Rp.3.500/bungkus kepada penjual bunga, mereka bisa meraih untung sekitar Rp.80.000/hari. Menurut mereka, hasil penjualan itu sudah bisa membeli kebutuhan mereka sehari-hari dan untuk biaya pendidikan 2 orang anaknya yang kini sudah duduk di kelas 2 SMA dan 3 SMP. 
        Dipikiranku tiba-tiba saja muncul tanda tanya besar, akankan nantinya setelah menyelesaikan pendidikannya, anak-anak mereka akan mengikuti jejak orangtuanya sebagai pemulung di lokasi TPA itu? Atau, adakah kemungkinan anak-anak mereka akan menggapi cita-cita yang lebih tinggi?. Pertanyaan itu mungkin masih harus menunggu jawaban, dan jawaban itu tentunya hanya ada di dalam perjalanan hidup mereka yang selalu bergelut dengan sampah-sampah kotor produksi orang-orang kota. Ketika pak Rahman dan istrinya telah menyelesaikan pekerjaannya memilah-milah sampah yang kemudian sore harinya akan dijual kepada penampung, sayapun berpamitan untuk pulang karena cuaca siang yang menyengat membuat kerongkonganku kering. Aku mengucapkan selamat tinggal kepada Pak Rahman dan bergegas menghidupkan mesin sepeda motorku untuk kembali pulang. Disepanjang jalan, aku hanya bisa mensyukuri kehidupan yang masih bisa kujalani dan kunikmati, termasuk pendidikan yang kuperoleh dari orang tua sejak SD hingga Sarjana. Dan aku berharap 2 anak Pak Rahman, bisa menggapai cita-cita itu, amin.
)* Paul M.Simanjuntak (CO YSKD - SUMUT)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Cerita menarik.....sebuah pencerahan yang bersahaja...